orang utan terancam punah
Orangutan adalah salah satu jenis kera besar (greap ape) yang masih tersisa di muka bumi dan saat ini masih bertahan hidup di Indonesia, khususnya di dua pulau besar yakni Kalimantan dan Sumatera. Sejarah mencatat bahwa ribuan tahun lalu orangutan memang pernah menghuni daratan Asia Tenggara, termasuk Pulau Jawa.
Kelangsungan hidup mereka - di Kalimantan dan Sumatera - saat ini sangat tergantung kepada para pemangku kepentingan "terdekat". Yakni terdekat karena kepentingannya (faktor politis ekonomis) dan terdekat lokasi geografisnya (aspek sosial budaya).
Pemerintah dan investor adalah pemangku terdekat karena kepentingan, terutama kepentingan terhadap lahan usaha yang merupakan habitat orangutan. Sedangkan, masyarakat dan karyawan perusahaan adalah merupakan pemangku kepentingan terdekat secara fisik dan karena posisi geografis.
Kawasan Sumatera dihuni oleh orangutan dari jenis Pongo Pygmaeus Abelli, sedangkan Pongo Pygmaeus Pygmaeus lebih banyak mendiami kawasan Kalimantan Barat dan sebagian Negara bagian Serawak di Malaysia. Sedang Kalimantan Tengah paling banyak dihuni oleh jenis Pongo Pygmaeus Wurmbii.
Untuk Kalimantan Timur dan sebagian di Sabah lebih banyak dijumpai jenis Pongo Pygmaeus Morio yang memiliki postur tubuh lebih kecil dan warna lebih gelap. Orangutan Kalimantan sebagian besar -70% atau lebih - menghuni wilayah yang sangat rawan dan konflik tinggi karena merupakan wilayah ektraksi dan konversi hutan alam.
Sedangkan, kurang dari 30% habitat orangutan berada di dalam kawasan konservasi (Taman Nasional, hutan lindung, dan kawasan konservasi lainnya). Jenis Morio menghuni di sebagian besar dataran rendah (lowland dipterocarp forest) yang tersebar utamanya di landscape Kutai (Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat) dan Berau.
Orangutan hanya akan bisa bertahan hidup bila habitat dan sumber pakannya terjamin, atau tidak diganggu oleh manusia. Di alam, orangutan memiliki peran sangat sentral sebagai penyebar biji (seed dispersal agent) paling produktif dan massal dan merupakan indikator kesehatan hutan alam.
Penyebaran biji ini merupakan sunatullah untuk menjaga stabilitas ekosistem hutan tropis. Coba kita renungkan sejenak, berapa trilyunan biaya yang harus kita keluarkan bila tugas menyebarkan biji tersebut harus dilakukan oleh manusia dalam bentuk proyek tahun jamak agar hutan tropis tetap Lestari? Sehingga, semangat melestarikan orangutan musti dibaca sebagai ikhtiar melestarikan ekosistem hutan tropis yang memiliki aneka ragam fungsi lingkungan (environmental services).
Seperti tata air dan pengendali banjir, pengendali hama dan penyakit alami, keragaman hayati tumbuhan obat, bank benih tumbuhan sumber pakan (seed bank), dan aneka fungsi penting lainnya bagi kehidupan manusia. Singkat kata, melestarikan habitat orangutan berarti menyelematkan aneka fungsi alam dan selamatkan manusia dari bencana ekologis.
Jumlah populasi orangutan di seluruh Kalimantan diperkirakan sebanyak 60.000 ekor (sumber: PHVA 2004 dan Wich, 2008). Namun, saya duga angka tersebut telah mengalami penurunan yang signifikan karena semakin banyak orangutan yang mati akibat konversi habitat dan pembunuhan.
Bila prediksi pakar primata benar bahwa rata-rata ada 1.000 sampai 1.500 ekor orangutan mati dibunuh setiap tahunnya, maka bisa dipastikan dalam kurun waktu tidak sampai 30 tahun anak cucu kita akan kehilangan kesempatan luar biasa untuk mempelajari seluk beluk dan manfaat kehadiran salah satu jenis kera besar karismatis titipan Tuhan dari muka bumi Kalimantan.
Anak cucu akan mencatat bahwa generasi kita sekarang ini adalah generasi yang tidak amanah dan serakah. Ini sungguh memalukan sekaligus memilukan hati siapapun, terutama yang masih memiliki nurani.
Perlu saya sampaikan bahwa penyebab utama (major driving forces) dari kematian orangutan adalah konversi habitat alamiah orangutan secara massif dan serempak. Konversi habitat ini sejatinya merupakan proses sistematis yang seolah "direncanakan" melalui apa yang dikenal dengan proses revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan perijinan kepada industri ektraktif skala besar.
Proses revisi lebih didominansi oleh pertimbangan politis-ekonomis dibandingkan kalkulasi keselamatan ekologis rakyat dan satwa Kalimantan. Kepentingan investasi dan pemilik kapital sering memperoleh tempat terhormat dalam proses revisi RTRW. Sehingga setiap kali melakukan revisi, maka bisa dipastikan akan terjadi pengurangan luasan hutan tropis - yang merupakan habitat alamiah orangutan dan aneka satwa penting endemic Kalimantan lainnya - dalam jumlah luasan sangat besar.
Begitu revisi tunai, maka proses berikutnya adalah pemberian ijin investasi, yang saat ini didominasi untuk pengembangan kebun sawit dan pertambangan batubara. Di Kaltim, saat ini terdapat paling tidak 1.215 ijin (versi JATAM Kaltim) dan 1.272 ijin (versi Pemprov Kaltim) ijin pertambangan baik dalam bentuk KP maupun PKP2B yang meliputi kawasan sekitar 5 juta hektar. Ini sama dengan luas Propinsi Jawa Barat digabung dengan Propinsi Banten.
Seolah tidak mau kalah, industri perkebunan sawit skala besar pun terus menuntut ekspansi secara besar-besaran. Pada Oktober 2010 tahun lalu, Dinas Perkebunan Kaltim melaporkan ada 311 perusahaan yang mengantongi ijin dengan total luasan 3,361 juta hektar.
Dan ijin-ijin baru diyakini akan terus bermunculan seolah tidak ada masalah sosial dan lingkungan. Pejabat pemberi ijin biasanya baru sadar dan agak hati-hati manakala sudah meledak konflik sosial yang melibatkan korban jiwa (misalnya, kasus Mesuji) dan bencana alam skala besar seperti banjir bandang dan wabah penyakit.
Harus diakui bahwa ada faktor lain yang turut menyebabkan kematian orangutan seperti perburuan dan kebakaran hutan. Namun, kedua faktor ini posisinya lebih menempati sebagai pelengkap (complimentary) dan efek domino dari penyebab utama tersebut diatas.
Lalu apa yang harus dilakukan agar orangutan tidak punah dari Bumi Etam dan agar kita semua kelak dikenang dan dibanggakan oleh anak cucu sebagai sosok yang amanah dan tidak serakah? Siapapun dan apapun profesi kita sejatinya bisa dan sudah seharusnya terpanggil untuk berperan lebih aktif dalam misi penting ini.
Di tingkat nasional dan internasional, Presiden SBY sudah secara resmi merilis Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Habitat Orangutan pada bulan Desember 2007 ditengah-tengah berlangsungnya Konferensi Iklim Internasional COP 13 di Bali. RAN tersebut menjelaskan konsep dan memberikan arahan mengenai visi, misi, kebijakan, strategi, dan aksi berbagai pemangku kepentingan dalam melestarikan habitat orangutan di Indonesia.
Kedua, perlu perubahan dalam kebijakan dan manajemen konservasi habitat orangutan. Sebab 70% habitat orangutan berada dan overlap dengan kegiatan ekonomis-produktif. Pelibatan dunia usaha adalah keniscayaan, dan pelibatan ini harus dimulai sedini mungkin yakni ketika proses pemberian ijin yang mensyaratkan adanya HCVF (kawasan bernilai konservasi tinggi).
Proses penyiapan HCVF idealnya dimulai sebelum lahan dibuka. Proses murah sekali dan staf perusahaan bisa dilatih dalam waktu singkat. HCVF adalah informasi yang sangat penting bg pengelola lahan. Selain itu, perlu dibangun koridor alamiah yang menghubungkan antara habitat alamiah orangutan. Koridor ini, bila dikelola secara profesional, akan menjadi daya tarik wisata alam yang menjanjikan.
Untuk investasi yang telah ada dalam RTRW dan menemukan orangutan di konsesinya, mereka harus membuat rencana pengelolaan konservasi habitat Orangutan. Bilamana luasan konsesinya terlalu kecil, maka disarankan bekerjasama dengan perusahaan yang berada dalam hamparan (landscape) yang sama. Mereka juga harus memiliki unit dan staf yang terampil dalam pengelolaan orangutan melalui kerjasama dengan BKSDA Kaltim sebagai otoritas resmi.
Sungguh tidak mahal untuk peduli dengan orangutan. Sebagai contoh, sebuah usaha sawit di pedalaman Kukar hanya mengeluarkan biaya kurang dari 5 persen dari total biaya produksi untuk memiliki dan mengoperasikan bidang atau team yang peduli konservasi dan sosial. Untuk penguatan kapasitas, di Unmul sudah banyak ahlinya. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah kemauan (political will) dari owner dan petinggi perusahaan.
Ketiga, proses revisi RTRW sudah seharusnya memasukkan habitat orangutan sebagai salah satu konsideran strategis. Dokumen RTRW adalah dokumen legal dan menjadi acuan arah pembangunan ekonomi suatu wilayah kedepan.
Sudah saatnya segala proses yang terkait dengan revisi RTRW dan perijinan yang merubah bentang alam Kalimantan dilakukan dalam semangat Kaltim Hijau. Bila ini dilakukan, maka konversi habitat orangutan akan bisa dikelola sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan populasi dan penyebaran habitat orangutan.
Dalam hal ini harus ada kerelaan dari manusia untuk bisa hidup berdampingan dengan orangutan dan makhluk lainnya. Kerelaan ini sudah seharusnya diterjemahkan dalam rencana dan langkah nyata untuk menyediakan habitat bagi mereka.
Di penghujung tahun 2011 ini, hendaklah setiap diri merenung tentang apa yang hendak kita pertanggungjawabkan kelak dihadapan Hakim Yang Maha Adil dan Cermat. Sungguh, adalah pilihan kita: menjadi manusia amanah dan tidak serakah atau sebaliknya. Semoga anda tidak salah memilih dan melangkah.
pikirlah pemburu orang hutan , apa kalian tidak kasian melihat orang utan dibunuh :(
0 komentar:
Posting Komentar